Ketut Madra Meninggal di Usia 80
Ketut Madra, Pelukis Wayang asal Peliatan Meninggal di Usia 80
I Ketut Madra dari Peliatan tutup usia dengan tenang dalam tidurnya di rumahnya pada Sabtu malam, 31 Juli 2021. Pelukis yang lahir di Pengosekan pada hari Galungan bulan Oktober tahun 1940 meninggalkan dunia ini di usianya yang ke-80.
Sebagai seorang pelukis cerita pewayangan Bali yang diakui secara internasional, lukisannya juga merupakan wujud rasa baktinya, khusus di empat pura umum di Peliatan, serta Pura Taman Limut di seberang jalan dari rumah keluarga kandungnya di Pengosekan.
Pak Madra juga dikenal sebagai penari topeng yang cerdas dan luwes serta sebagai pemain rebab tunggal di salah satu sekaa (kelompok) gamelan terkemuka di Bali. Bagi teman-temannya yang tinggal luar Bali, Ketut Madra adalah sosok yang ramah, mudah bergaul, humoris, dan berpengetahuan luas yang dapat menghubungkan orang dengan guru yang perlu mereka kenal di Bali.
Ia pertama kali belajar seni lukis wayang pada tahun 1958 di Pura Dalem Banjar Kalah, Peliatan. Saat itu, Tjokorda Oka Gambir, seorang seniman dan guru wayang pada awal abad ke-20, sedang memperbaiki topeng sakral. Madra pun kemudian menawarkan bantuan. Tjokorda Oka Gambir kemudian menunjukkan kepadanya bagaimana cara mencampur warna yang tepat untuk wajah Rangda, dan menyaksikan ia bekerja. Pelajaran yang lebih formal pun segera dimulai.
Pertemuan itu kemudian mengantarkannya pada profesi yang menurutnya adalah sesuatu yang tidak dapat ia dihindari. Ia menjadi pelukis cerita wayang yang mahir yang karyanya dikoleksi di empat benua.
Madra pertama kali melihat dan mendengar drama para dewa dan tokoh-tokoh jahat beserta pelayannya melalui liak-liuk bayang-bayang wayang kulit dan suara dalang masa mudanya. Pada saat ia berusia lima tahun, ia pergi bersama ayahnya, pemain gender wayang untuk acara odalan dan upacara keagamaan di seluruh wilayah Ubud. Ia tidak menonton pertunjukan wayang itu di depan layar bersama dengan para penonton lainnya, melainkan dari belakang layar di antara sejumlah pemain yang menciptakan keajaiban pertunjukan itu. Baginya, adalah awal sebenarnya dari pendidikan yang menginformasikan seninya.
Ketika ia berusia delapan tahun, ayahnya meninggal dunia, dan keluarganya pun jatuh miskin. Ia harus berhenti sekolah setelah kelas tiga SD. Sering kali ia harus berjalan 10 kilometer untuk memungut biji padi di sawah yang baru dipanen. Pada masa itu, ia juga pertama kali belajar melukis dari sepupunya yang lebih tua yang bernama Dewa Putu Sugi. Ia belajar menggambar pemandangan pasar, odalan di pura, dan panen – yang merupakan subjek lukisan banyak seniman daerah Ubud yang dipengaruhi oleh orang Eropa sebelum dan sesudah Perang Dunia II.
Pada usianya yang ke-18, karena ia perlu mencari nafkah sendiri, ia pindah dari Pengosekan ke Peliatan yang lokasinya tidak jauh dari sana untuk bekerja sebagai pelukis magang di tempat Wayan Gedah, seorang pelukis dan pedagang yang menjual lukisan dan ukiran kayu kepada wisatawan Indonesia. Ketika Wayan Gedah meninggal beberapa tahun kemudian, atas permintaannya, Madra menikahi istri Gedah yang bernama Ni Wayan Lampias.
Setelah pertemuan pertama dengan Tjokorda Gambir, Madra mulai serius menekuni seni lukis wayang dengan mempelajari detail warna, ikonografi, dan kostum sejumlah tokoh, serta teknik dan aturan gaya wayang. Meskipun ia sudah tahu banyak cerita wayang kulit, ia selalu suka berguru dari para pakar di bidang seni wayang kulit untuk memperdalam pemahamannya mengenai hubungan antar dan di antara berbagai tokoh pewayangan.
Pada saat ia berusia 30 tahun, Madra berhasil dalam menekuni pekerjaannya dan memperoleh reputasi yang lebih luas sebagai pelukis wayang sejati serta terampil. Ketika gejolak politik mereda pada akhir tahun 1960-an, wisatawan internasional kembali ke Bali. Ubud sekali lagi muncul sebagai pusat budaya, dan kabar tentang bakat Madra yang luar biasa ini pun menyebar. Kolektor yang tertarik pada lukisannya yang percaya diri, desainnya yang seimbang, dan perhatiannya yang cermat terhadap detail, juga terpikat oleh ceritanya. Sepanjang tahun 1970-an dan 80-an, studio rumahnya selalu ramai dengan murid-murid magang yang belajar melukis dengan gaya wayang.
Madra pernah berkata “lukisan wayang menceritakan kisah yang merupakan bagian dari budaya Bali. Semua tokoh dewa, pahlawan dan penjahat dan pelayan dalam pewayangan ini sangat dekat dengan budaya kami. Bagaimana tokoh-tokoh ini dilukiskan, gaya penggambarannya – semuanya mencerminkan pertunjukan wayang. Membuat keputusan mengenai bagaimana saya akan menunjukkan motivasi tokoh-tokoh ini sebelum saya mulai menggambar, seringkali lebih sulit daripada melukis itu sendiri.”
Sejak pertengahan tahun 1970-an, karyanya mulai dipamerkan ke luar negeri. Sembilan lukisan dan tiga gambaran oleh Madra menjadi bagian dari pameran Amerika pertama yang berfokus pada seni wayang Bali kontemporer, “Legendary Paintings of Bali (Lukisan Legendaris Bali),” di Fogg Art Museum, Harvard University pada tahun 1974. Karyanya juga sering menjadi bagian dari pameran di Bali dan juga telah ditampilkan di galeri dan museum di Jakarta, dan di kota-kota di Australia, Jepang, Inggris, dan Amerika Serikat.
Pada tahun 1973, dengan kesadaran bahwa penghasilannya sangat bergantung pada hubungannya dengan dunia internasional, Madra pun membeli sebidang kecil tanah di Peliatan dan membangun bungalow pertama yang kemudian menjadi Madra Homestay. Rumah pertamanya dengan tiga kamar sederhana yang didukung dengan pemandangan sawah dan Samudera Hindia dari kejauhan itu jarang sekali kosong. Ia membeli lahan yang berdekatan dan memperluas homestay itu hingga menjadi “tempat yang tenang untuk belajar tentang Bali” seperti yang ia bayangkan. Ibu Lampias, dan kemudian istri keduanya, Ni Wayan Konderi, memastikan keramahtamahan homestay tersebut memenuhi keinginan dan harapan tamu-tamu mereka yang selalu menjawab telah diperlakukan seperti keluarga.
Pada akhir tahun 1970-an, Madra menanggapi dorongan Nyoman Kakul, seorang penari dan guru terkemuka dari desa Batuan. Nyoman Kakul mengagumi pemahaman Madra tentang kisah-kisah yang diceritakan dalam drama tari Bali, dan mendesaknya untuk belajar menari. Pada usia 41 tahun (30 tahun lebih lambat dari usia kebanyakan penari Bali Ketika mulai belajar menari), Madra belajar tari topeng keras, membawakan peran seorang patih yang berwatak keras di istana raja. Karena telah sangat mengenal komposisi peran dan motivasi tokoh-tokoh sebelum mulai belajar menari, sebulan kemudian ia tampil menari di depan umum di sebuah acara odalan di Pura Desa Batuan.
Kata Madra, seni tari adalah pelengkap yang hampir sempurna dalam hidupnya sebagai pelukis. Tampil dalam lakon-lakon yang sebelumnya hanya ia tonton dan lukis memberinya wawasan baru tentang tokoh-tokoh dalam cerita pewayangan dan pemahaman yang lebih mendalam tentang unsur spiritual dan bakti dalam kedua jenis karya seni tersebut. Ia dikenal di kalangan masyarakat Bali karena perannya sebagai Dalem atau raja yang halus budi bahasa dan tingkah lakunya, yang dapat dibawakan dengan baik hanya oleh segelintir penari, dan juga karena perannya dalam tari topeng tua, yakni peran yang juga tanpa suara dalam wujud seorang lelaki tua yang ringkih dan terkadang lekas marah, dengan bahasa tubuh yang menghadirkan kejenakaan sekaligus kesedihan. Peran bersuara yang ia bawakan dalam drama tari bondres dengan mengenakan topeng setengah wajah yang mirip badut memungkinkannya menampilkan kecerdikan dan permainan kata melalui komentar-komentar sosial yang bernada satir.
Madra membawakan peran-peran tersebut dalam acara-acara keagamaan di pura di dekat Ubud, dan juga dengan grup gamelan Tirta Sari di Peliatan, yakni grup yang melakukan tur dengannya ke Jakarta dan Jepang. Untuk menjadi anggota penuh Tirta Sari, ia juga harus menjadi musisi. Pemimpin grup gamelan tersebut mendorongnya untuk belajar bermain rebab, alat musik biola berdawai dua dalam perangkat gamelan. Seorang teman memberinya sebuah rebab dan kaset berisi musik solo. Saat mengetahui bahwa Madra telah mempelajari dasar-dasar bermain dengan meniru rekaman dalam kaset tersebut, pemimpin grup Tirta Sari memintanya membeli rekaman rebab dengan iringan gamelan lengkap – – dan Madra pun dengan cepat membuat dirinya sebagai pemain solo dawai di grup tersebut.
Pada tahun 1980-an, Madra Homestay adalah markas di Bali dan tempat beratih bagi Gamelan Sekar Jaya, grup dari Amerika yang inovatif yang merupakan grup gamelan pertama dari luar negeri yang melakukan tur di Bali. Saat diundang datang pada tahun 1984 oleh Gubernur Bali, I. B. Mantra, grup ini memukau para anggota sekaa gong Bali dan penonton di pulau ini pada tahun 1985 dengan bakat mereka dalam memainkan musik tradisional dan keceriaan komposisi modern mereka. Madra merasa bangga karena Gubernur menghadiri resepsi di homestay-nya setelah pertunjukan terakhir, dan di sisi lain ia juga merasa sangat senang menerima banyak penari, musisi, dan guru seni tari dan musik yang terkemuka di Bali dalam acara latihan yang lebih santai selama tur Sekar Jaya.
Selama proses perbaikan Pura Dalem Gde di Peliatan pada tahun 1997, Madra bekerja selama berbulan-bulan untuk membuat tujuh lukisan baru untuk ketiga pelinggih utama. Ia juga memperbaiki dan memasang kembali dua lukisan dari sebelum Perang Dunia II di pura tersebut, termasuk satu lukisan karya gurunya, Tjokorda Oka Gambir. Lukisan-lukisannya juga menghiasi Pura Desa dan Pura Puseh di Peliatan serta pura di balai Banjar Kalah.
Pada awal tahun 2000-an, Madra khawatir bahwa ia mungkin “salah satu pelukis wayang terakhir.” Madra menuturkan bahwa seni drama wayang kulit tradisional mulai memudar. Seni ini tidak lagi menarik bagi anak-anak muda seperti ketika ia masih kecil. “Anak muda tidak lagi belajar tentang cerita-cerita pewayangan. Ada terlalu banyak hal yang mengalihkan perhatian mereka — TV, komputer, kehidupan modern. Kalau pun ada yang ingin menjadi pelukis, gaya melukis modern mungkin lebih mudah dipelajari. Aturannya lebih sedikit.”
Namun, setelah pameran retrospektifnya yang bertajuk “Ketut Madra and 100 Years of Balinese Wayang Painting” di Museum Puri Lukisan Ubud pada tahun 2013, ia semakin optimis tentang masa depan bentuk kesenian yang sangat ia pedulikan ini.
Ia berpensiun dari dunia seni lukis pada tahun 2018. Jauh sebelum ia berpulang, ia tahu bahwa keponakan dan anak angkatnya, Made Berata, yang kini berusia 53 tahun dan yang pernah menjadi dosen seni lukis wayang di ISI (Institut Seni Indonesia) Denpasar, akan meneruskan tradisi melukis cerita wayang, “walaupun ia pada umumnya juga tertarik pada banyak hal lainnya.”
Madra merawat istri keduanya, Ibu Wayan Konderi, dalam perjuangannya melawan kanker otak selama sembilan bulan. Kesehatannya sendiri mulai menurun tidak lama setelah istrinya meninggal pada tahun 2014. Dengat wanfatnya, Ketut Madra juga meninggalkan adik laki-lakinya, Ketut Madri dari Pengosekan. Dan ia juga meninggalkan banyak teman dari seluruh dunia yang berduka, mereka yang pernah tinggal lama di tanahnya yang indah dan belajar tentang Bali, dan mereka semua mendoakan agar perjalanannya lancar di alam sana.
Madra Homestay seperti yang Pak Madra sering katakan, “membuka jendela saya ke dunia Barat.” Homestay tersebut juga membuat karya seni Madra menjadi dikenal oleh pengunjung dari tiga generasi. Orang-orang yang tinggal untuk waktu yang lama disana telah berkontribusi untuk membuat masyarakat internasional mengetahui Bali melalui pertunjukan, kuliah, pameran, serta buku dan artikel akademis dan populer tentang Bali dan budayanya.
Meskipun pandemi telah melumpuhkan perekonomian Bali untuk saat ini, putra Madra, Made Berata, dan istrinya, Ibu Komang, sedang mempersiapkan taman yang luas di Madra Homestay untuk menyambut penulis, musisi, seniman, dan akademisi yang bekerja di Bali selama berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Mereka akan kembali menerima tamu perorangan dan kelompok kecil, yang umumnya adalah mahasiswa, yang datang untuk belajar melukis, menari, bermain musik gamelan, mengukir, meditasi, dan aspek-aspek lainnya dari budaya Bali.